Minggu, 18 Oktober 2009

Geometri Lapisan Batubara


PENGENDALI GEOMETRI LAPISAN BATUBARA

Agar dapat lebih memahami geometri lapisan batubara, maka proses-proses geologi yang berlangsung bersamaan atau setelah lapisan batubara terbentuk perlu diketahui. Proses-proses geologi tersebut merupakan pengendali utama terhadap aspek geometri lapisan batubara.
 
Lingkungan pengendapan batubara merupakan salah satu kendali utama yang mempengaruhi pola sebaran, ketebalan, kemenerusan, kondisi roof, dan kandungan sulfur pada lapisan batubara (Horne dkk., 1978). Melalui model pengendapan atau fasies juga dapat ditentukan lapisan batubara ekonomis yang ditandai oleh sebarannya yang luas, tebal, kandungan abu dan sulfur rendah. Artinya ada hubungan genetik antara geometri lapisan batubara dan lingkungan pengendapannya (Rahmani & Flores, 1984; Ferm & Staub, 1984; Levey, 1985).

Hasil penelitian di Cina Timur menyimpulkan bahwa keruangan dan orientasi cekungan serta sebaran formasi pembawa lapisan batubara dikendalikan oleh sistem tektonik aktif selama periode pengendapan batubara (Miao Fen, 1984). Di Cekungan Bengkulu geometri lapisan batubara dikendalikan oleh posisinya di cekungan, yaitu apakah berada di tengah cekungan, di tepi cekungan, atau di tinggian (Kuncoro, 1998).
 
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa aspek geometri lapisan batubara berhubungan atau dikendalikan oleh faktor lingkungan pengendapan dan proses tektonik yang berlangsung. Kedua faktor tersebut di atas dicerminkan oleh proses-proses geologi, yaitu:
1.    Proses geologi yang berlangsung bersamaan dengan pembentukan batubara: perbedaan kecepatan sedimentasi dan bentuk morfologi dasar pada cekungan, pola struktur yang sudah terbentuk sebelumnya, dan kondisi lingkungan saat batubara terbentuk.
2.    Proses geologi yang berlangsung setelah lapisan batubara terbentuk: adanya sesar, erosi oleh proses-proses yang terjadi di permukaan, atau terobosan batuan beku (intrusi).

Oleh karena itu, pemahaman geometri lapisan batubara hanya akan diperoleh jika hubungannya dengan lapisan batuan yang berasosiasi (lingkungan pengendapan) diperhitungkan bersamaan dengan proses tektonik yang mempengaruhi daerah tersebut.

 


PARAMETER GEOMETRI LAPISAN BATUBARA

Menurut Jeremic (1985), parameter geometri lapisan batubara berdasarkan hubungan dengan dapatnya suatu lapisan batubara ditambang dan kestabilan lapisannya meliputi:

1.    Ketebalan lapisan batubara: (a) sangat tipis, apabila tebalnya kurang dari 0,5 m, (b) tipis 0,5-1,5 m, (c) sedang 1,5-3,5 m, (d) tebal 3,5-25 m, dan (e) sangat tebal, apabila >25 m.
2.    Kemiringan lapisan batubara: (a) lapisan horisontal, (b) lapisan landai, bila kemiringannya kurang dari 25o, (c) lapisan miring, kemiringannya berkisar 25o-45o, (d) lapisan miring curam, kemiringannya berkisar 45o-75o, dan (e) vertikal.
3.    Pola kedudukan lapisan batubara atau sebarannya: (a) teratur dan (b) tidak teratur.
4.    Kemenerusan lapisan batubara: (a) ratusan meter, (b) ribuan meter 5-10 km, dan (c) menerus sampai lebih dari 200 km.

Selanjutnya agar geometri lapisan batubara menjadi berarti dan menunjang untuk perhitungan cadangan, bahkan sampai pada tahap perencanaan tambang, penambangan, pencucian, pengangkutan, penumpukan, maupun pemasaran, maka parameternya adalah:

1.     Ketebalan
Ketebalan lapisan batubara adalah unsur penting yang langsung berhubungan dengan perhitungan cadangan, perencanaan produksi, sistem penambangan, dan umur tambang. Oleh karena itu perlu diketahui faktor pengendali terjadinya kecenderungan arah perubahan ketebalan, penipisan, pembajian, splitting, dan kapan terjadinya. Apakah terjadi selama proses pengendapan, antara lain akibat perbedaan kecepatan akumulasi batubara, perbedaan morfologi dasar cekungan, hadirnya channel, sesar, dan proses karst atau terjadi setelah pengendapan, antara lain karena sesar atau erosi permukaan.

Pengertian tentang tebal, perlu dijelaskan apakah tebal lapisan batubara tersebut termasuk parting (gross coal thickness), tebal lapisan batubara tidak termasuk parting (net coal thickness), atau tebal lapisan batubara yang dapat ditambang (mineable thickness).

2.     Kemiringan
Besarnya kemiringan lapisan batubara berpengaruh terhadap perhitungan cadangan ekonomis, nisbah pengupasan, dan sistem penambangan. Besarnya kemiringan harus berdasarkan hasil pengukuran dengan akurasi tinggi. Dianjurkan pengukuran kedudukan lapisan batubara menggunakan kompas dengan metode dip direction, sekaligus harus mempertimbangkan kedudukan lapisan batuan yang mengapitnya.

Pengertian kemiringan, selain besarnya kemiringan lapisan juga masih perlu dijelaskan:
a.    Apakah pola kemiringan lapisan batubara tersebut bersifat menerus dan sama besarnya sepanjang cross strike maupun on strike atau hanya bersifat setempat.
b.    Apakah pola kemiringan lapisan batubara tersebut membentuk pola linier, pola lengkung, atau pola luasan (areal).
c.    Mengenai faktor-faktor pengendalinya.

3.     Pola sebaran lapisan batubara
Pola sebaran lapisan batubara akan berpengaruh pada penentuan batas perhitungan cadangan dan pembagian blok penambangan. Oleh karena itu, faktor pengendalinya harus diketahui, yaitu apakah dikendalikan oleh struktur lipatan (antiklin, sinklin, menunjam), homoklin, struktur sesar dengan pola tertentu atau dengan pensesaran kuat.

4.     Kemenerusan lapisan batubara
Selain jarak kemenerusan, maka faktor pengendalinya juga perlu diketahui, yaitu apakah kemenerusannya dibatasi oleh proses pengendapan, split, sesar, intrusi, atau erosi.

Misal pada split, kemenerusan lapisan batubara dapat terbelah oleh bentuk membaji dari sedimen bukan batubara. Berdasarkan penyebabnya dapat karena proses sedimentasi (autosedimentational split) atau tektonik yang ditunjukan oleh perbedaan penurunan dasar cekungan yang mencolok akibat sesar (Warbroke, 1981 dalam Diessel, 1992). Oleh karena itu, pemahaman yang baik tentang split akan sangat membantu pada:
a.    Kegiatan eksplorasi untuk menentukan sebaran lapisan batubara dan penentuan perhitungan cadangan.
b.    Kegiatan penambangan hadirnya split dengan kemiringan sekitar 45o yang umumnya disertai dengan perubahan kekompakan batuan, maka akan menimbulkan masalah dalam kegiatan tambang terbuka, kestabilan lereng, dan kestabilan atap pada operasi penambangan bawah tanah.

5.     Keteraturan Lapisan Batubara
Keteraturan lapisan batubara ditentukan oleh pola kedudukan lapisan batubara (jurus dan kemiringan), artinya:
a.    Apakah pola lapisan batubara di permukaan (crop line) menunjukkan pola teratur (garis menerus yang lurus, melengkung/meliuk pada elevasi yang hampir sama) atau membentuk pola tidak teratur (garis yang tidak menerus, melengkung/meliuk pada elevasi yang tidak sama).
b.    Apakah bidang lapisan batubara membentuk bidang permukaan yang hampir rata, bergelombang lemah, atau bergelombang).
c.    Juga harus dipahami faktor pengendali keteraturan lapisan batubara.

6.     Bentuk Lapisan Batubara
Bentuk lapisan batubara adalah perbandingan antara tebal lapisan batubara dan kemenerusannya, apakah termasuk kategori bentuk melembar, membaji, melensa, atau bongkah. Bentuk melembar merupakan bentuk yang umum dijumpai, oleh karena itu selain bentuk melembar, maka perlu dijelaskan faktor-faktor pengendalinya.

7.     Cleat
Cleat adalah kekar di dalam lapisan batubara, khususnya pada batubara bituminous yang ditunjukkan oleh serangkaian kekar yang sejajar, umumnya mempunyai orientasi berbeda dengan kedudukan lapisan batubara. Adanya cleat dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu mekanisme pengendapan, petrografi batubara, derajat batubara, tektonik (struktur geologi), dan aktivitas penambangan.

Berdasarkan genesanya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
a.    Endogenous cleat dibentuk oleh gaya internal akibat pengeringan atau penyusutan material organik. Umumnya tegak lurus bidang perlapisan sehingga bidang kekar cenderung membagi lapisan batubara menjadi fragmen-fragmen tipis yang tabular. 
b.    Exogenic cleat dibentuk oleh gaya eksternal yang berhubungan dengan kejadian tektonik. Mekanismenya tergantung pada karakteristik struktur dari lapisan pembawa batubara. Cleat ini terorientasi pada arah tegasan utama dan terdiri dari dua pasang kekar yang saling membentuk sudut.
c.    Induced cleat bersifat lokal akibat proses penambangan dengan adanya perpindahan beban kedalam struktur tambang. Frekuensi induced cleat tergantung pada tata letak tambang dan macam teknologi penambangan yang digunakan.

Berdasarkan bentuknya dapat dikelompokan menjadi lima, yaitu:
a.    Bentuk kubus, umumnya pada endogenous cleat yang berderajat rendah.
b.    Bentuk laminasi, pada exogenic cleat berupa perselingan antara batubara keras dan lunak atau antara durain dan vitrain.
c.    Bentuk tidak menerus, berhubungan dengan endogenous dan exogenic cleat.
d.    Bentuk menerus, berhubungan dengan struktur geologi atau akibat penambangan.
e.    Bentuk bongkah yang disebabkan oleh kejadian tektonik.

Besarnya pengaruh cleat pada beberapa bagian dari suatu rangkaian industri pertambangan, membuat cleat menjadi penting untuk dipelajari dan diketahui karena kehadiran dan orientasi cleat antara lain akan mempengaruhi pemilihan tata letak tambang, arah penambangan, penerapan teknologi penambangan, proses pengolahan batubara, penumpukan batubara, dan bahkan pemasaran batubara (mulai fine coal sampai lumpy coal).

Oleh karena itu, perekaman data cleat tidak hanya terbatas pada kedudukan dan kisaran jarak antar cleat, tetapi perlu dilengkapi dengan merekam jenis, pengisi, pengendali terbentuknya, karakteristik kerekatannya, dan jarak dominan cleat.

8.          Pelapukan
Tingkat pelapukan batubara penting ditentukan karena berhubungan dengan dimensi lapisan batubara, kualitas, perhitungan cadangan, dan penambangannya. Oleh karena itu karakteristik pelapukan dan batas pelapukan harus ditentukan. Pada batubara lapuk selain harus ditentukan batasnya dengan batubara segar, juga berpengaruh pada pengukuran tebalnya. Kondisi ini umumnya dijumpai pada batubara dengan kandungan abu dan moisture tinggi.
 

ARTI PENTING GEOMETRI LAPISAN BATUBARA

Pembahasan dan pemahaman geometri lapisan batubara harus dikaitkan dengan kegiatan eksplorasi dan penambangan batubara. Pada tahap eksplorasi akan sangat membantu di dalam usaha menentukan besarnya cadangan batubara, kemudian akan sangat membantu untuk :

1.    Evaluasi pada setiap tahap eksplorasi.
2.    Perencanaan pengembangan atau perluasan daerah eksplorasi.
3.    Sebaran kualitas dan sekaligus kuantitas.
4.    Keputusan mendirikan usaha pertambangan.
5.    Rencana penambangan.

Selanjutnya pada tahap penambangan, karakteristik geometri lapisan batubara akan menjadi salah satu dasar didalam penentuan :
1.    Perencanaan produksi dan umur tambang karena berkait dengan cadangan batubara,
2.    Sistem penambangan yang akan diterapkan.
3.    Pemilihan tata letak tambang.
4.    Penerapan teknologi penambangan.
5.    Proses pengolahan.
6.    Penumpukan batubara.
7.    Pemasaran batubara.

 Dikutip langsung lisan dari : Dr.Ir.Bambang Kuncoro,M.T.




Read rest of entry

Lingkungan Pengendapan Delta dan Batubara

Batubara merupakan hasil dari akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi lingkungan pengendapan tertentu. Akumulasi tersebut telah dikenai pengaruh-pengaruh synsedimentary dan post-sedimentary. Akibat pengaruh-pengaruh tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat (rank) dan kerumitan struktur yang bervariasi.

Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, dan kualitas batubara. Untuk pembentukan suatu endapan yag berarti diperlukan suatu susunan pengendapan dimana terjadi produktifitas organik tinggi dan penimbunan secara perlahan-lahan namun terus menerus terjadi dalam kondisi reduksi tinggi dimana terdapat sirukulasi air yang cepat sehingga oksigen tidak ada dan zat organik dapat terawetkan. Kondisi demikian dapat terjadi diantaranya di lingkungan paralik (pantai) dan limnik (rawa-rawa).
Menurut Diessel (1984, op cit Susilawati ,1992) lebih dari 90% batubara di dunia terbentuk di lingkungan paralik yaitu rawa-rawa yang berdekatan dengan pantai. Daerah seperti ini dapat dijumpai di dataran pantai, lagunal, deltaik, atau juga fluviatil.

Diessel (1992) mengemukakan terdapat 6 lingkungan pengendapan utama pembentuk batubara yaitu gravelly braid plain, sandy braid plain, alluvial valley and upper delta plain, lower delta plain, backbarrier strand plain, dan estuary. Tiap lingkungan pengendapan mempunyai asosiasi dan menghasilkan karakter batubara yang berbeda.

Batubara adalah batuan yang mudah terbakar yang mengandung > 50% berat dan > 70% volume material karbon, terbentuk dari proses penggambutan dan pembatubaraan material organik pada berbagai lingkungan pengendapan. Batubara dapat terbentuk di berbagai lingkungan pengendapan, salah satunya adalah delta. Batubara yang terbentuk pada lingkungan delta memiliki karakteristik yang berbeda dengan batubara yang terbentuk pada lingkungan yang lain.
Batubara yang terbentuk pada lingkungan delta umumnya dijumpai pada delta plain. Lingkungan delta plain sendiri dibagi menjadi: lower delta plain, transitional lower delta plain dan upper delta plain. Batubara yang terbentuk pada sub lingkungan delta plain tersebut akan memiliki karakteristik/sifat fisik, sifat kimia, ketebalan dan penyebaran lapisan batubara tertentu dan berlainan satu sama lainnya.

Batubara pada lower delta plain merupakan bright coal, memiliki kandungan
abu dan sulfur rendah, nilai kalori tinggi dan ketebalan yang relatif tipis dengan penyebaran yang relatif luas. Batubara pada upper delta plain merupakan bright
coal, memiliki kandungan abu tinggi, kandungan sulfur rendah, nilai kalori tinggi dan penyebarannya bersifat diskontinyu atau lentikuler dengan ketebalan mencapai 10 m.
Batubara yang terbentuk pada lingkungan transitional lower delta plain lebih tebal dari kedua lingkungan yang lain dan mempunyai penyebaran yang luas, menerus dan memiliki kandungan sulfur yang rendah.

Delta merupakan sebuah lingkungan
pengendapan yang pembentukannya dipengaruhi tiga parameter, yaitu : suplai sedimen,
energi gelombang dan pasang surut. Dalam pengendapannya delta membutuhkan suatu
ruang akomodasi yang dipengaruhi oleh Relative sea level (RSL), dimana kedua hal ini
dipengaruhi oleh tektonik dan eustacy. Oleh karena itu, studi stratigrafi sikuen pada sistem
delta merupakan suatu model yang ideal dalam memberikan pemahaman dan pembelajaran
bagaimana suatu rekaman stratigrafi dijelaskan dengan konsep stratigrafi ini, melalui
pembagian sikuen, parasikuen set, parasikuen dan system tract-nya
Konsep stratigrafi sikuen akan dapat menjelaskan bagaimana stacking pattern dari
suatu endapan delta. Setiap delta akan mengalami siklus akibat adanya perubahan muka air
laut, oleh tektonik dan atau eustacy. Siklus delta dapat dibagi menjadi allocyclic processes
dan autocyclic processes. Allocyclic disebabkan oleh faktor luar, misalnya eustacy, tektonik,
iklim dan sebagainya. Siklus ini merupakan siklus transgresi-regresi akibat perubahan RSL.
Autocyclic disebabkan oleh faktor yang berasal dari faktor dalam cekungan, meliputi lobe
switching dan river avulsion.

Delta pada saat early highstand system tract, dicirikan dengan lobe switching yang
sering dengan tipe delta yang terbentuk adalah lobate delta. Selama muka air laut tetap atau
mulai turun, elongate delta akan terbentuk akibat progradasi ke arah laut yang lebih dalam
(mid atau lower shelf) dan terutama untuk sedimen yang berbutir halus. Kecepatan
sedimentasi yang sebanding dengan penurunan muka air laut akan mengurangi terjadinya
lobe switching, sehingga bentuk elongate akan terus berkembang. Delta yang terbentuk
pada saat lowstand system tract umumnya akan menoreh permukaan topografi akibat
turunnya muka air laut dan morfologinya dikontrol oleh topografi di bawahnya. Lowstand
delta umumnya akan berprogradasi ke arah deep water. Menghasilkan delta jenis coarsedgrain
delta (fan-delta). Wave dan storm umumnya lebih terkonsentrasi pada shelf edge yang
menghasilkan wave-dominated delta. Selama transgressive system tract, umumnya
pengendapan delta akan berkurang, karena material sedimen terakumulasi secara agradasi
pada floodplain. Pada saat pengendapan delta aktif berlangsung, pengaruh fluvial akan
minimal dan wave- dan tide-dominated delta akan dominan. Luapan sungai pada saat
transgresi membentuk estuarines, dimana tidal range dapat mencapai lingkungan ini. Pada
estuarines ini akan terbentuk endapan pasir yang paralel terhadap arah estuarines.
 
Konsep stratigrafi sikuen ini sangat sesuai untuk diterapkan pada sistem delta,
karena delta sendiri merupakan lingkungan pengendapan di daerah transisi dimana sangat
sensitif terhadap perubahan muka air laut. Delta merupakan sebuah lingkungan
pengendapan yang pembentukannya dipengaruhi tiga parameter, yaitu : suplai sedimen,
energi gelombang dan pasang surut. Dalam pengendapannya delta membutuhkan suatu
ruang akomodasi yang dipengaruhi oleh Relative sea level (RSL), dimana kedua hal ini
dipengaruhi oleh tektonik dan eustacy. Oleh karena itu, studi stratigrafi sikuen pada sistem
delta merupakan suatu model yang ideal dalam memberikan pemahaman dan pembelajaran
bagaimana suatu rekaman stratigrafi dijelaskan dengan konsep stratigrafi ini, melalui
pembagian sikuen, parasikuen set, parasikuen dan system tract-nya

Konsep stratigrafi sikuen akan dapat menjelaskan bagaimana stacking pattern dari
suatu endapan delta. Setiap delta akan mengalami siklus akibat adanya perubahan muka air
laut, oleh tektonik dan atau eustacy. Siklus delta dapat dibagi menjadi allocyclic processes
dan autocyclic processes. Allocyclic disebabkan oleh faktor luar, misalnya eustacy, tektonik,
iklim dan sebagainya. Siklus ini merupakan siklus transgresi-regresi akibat perubahan RSL.
Autocyclic disebabkan oleh faktor yang berasal dari faktor dalam cekungan, meliputi lobe
switching dan river avulsion.
Delta pada saat early highstand system tract, dicirikan dengan lobe switching yang
sering dengan tipe delta yang terbentuk adalah lobate delta. Selama muka air laut tetap atau
mulai turun, elongate delta akan terbentuk akibat progradasi ke arah laut yang lebih dalam
(mid atau lower shelf) dan terutama untuk sedimen yang berbutir halus. Kecepatan
sedimentasi yang sebanding dengan penurunan muka air laut akan mengurangi terjadinya
lobe switching, sehingga bentuk elongate akan terus berkembang. Delta yang terbentuk
pada saat lowstand system tract umumnya akan menoreh permukaan topografi akibat
turunnya muka air laut dan morfologinya dikontrol oleh topografi di bawahnya. Lowstand
delta umumnya akan berprogradasi ke arah deep water. Menghasilkan delta jenis coarsedgrain
delta (fan-delta). Wave dan storm umumnya lebih terkonsentrasi pada shelf edge yang
menghasilkan wave-dominated delta. Selama transgressive system tract, umumnya
pengendapan delta akan berkurang, karena material sedimen terakumulasi secara agradasi
pada floodplain. Pada saat pengendapan delta aktif berlangsung, pengaruh fluvial akan
minimal dan wave- dan tide-dominated delta akan dominan. Luapan sungai pada saat
transgresi membentuk estuarines, dimana tidal range dapat mencapai lingkungan ini. Pada
estuarines ini akan terbentuk endapan pasir yang paralel terhadap arah estuarines.
 
 
Read rest of entry
 

About Me

Foto saya
Perkenalkan saya adalah Mahasiswa disalah satu Universitas swasta yang berada di Yogyakarta. Saya senang menulis di blog yg saya kelola sekarang, blog saya masih banyak kekurangannya, jadi harap maklum.Karena saya juga masih belajar-belajar juga. Saya juga senang dengan hal-hal yang menantang andrenalin dan hal-hal yang baru. saya adalah manusia yang simple..Simple is my life...hahaha..

My Blog List

Term of Use